posbekasi.com

Guru Ikon Pencerdasan

POSBEKASI.COM | JAKARTA – GURU ikon pencerdasan bangsa, masihkah berlaku? Kalau ya, mengapa guru masih gerundelan, masih dijadikan sampingan pekerjaan mulianya? Kalau tidak betapa nistanya, kecerdasan diganti dengan cara cara instan apalagi pendekatan uang.

Tatkala lembaga pendidikkan dapat dianalogikan sebagai pasar maka ada penjual ada pembeli ada yang dijual. Tawar menawar harga menjadi hal biasa. Penjual bisa mempermainkan. Pembeli pun, berapa di jual saya beli. Budaya di pasar tatkala memasuki budaya pendidikan maka nilai nilai kemanusiaan hilang. Rasa malu akan hal hal nista tidak lagi digubris. Menjadi penuh kepura puraan. Transformasi tiada lagi. Koleksi gelar atau diskon ranking pun marak dilakukan.

Pendidikan ikon pencerdasan membeku bahkan menguap bagai tiada kebanggaan lagi. Label label pasar seakan menjadi kebanggaannya. Kompetensi dan budaya pembelajar hilang. Nilai nilai moral tiada lagi menjadi standar kewarasan. Yang penting senang, yang penting bisa bayar, yang penting bisa diatur. Semua sarat rekayasa. Tatkala rekayasa yang sarat keculasan maka kebanggaannya bukan pada pencerdasan lagi.

Mencerdaskan kata yang menarik dan heroik. Faktanya tidak semudah mengucapkannya. Kecerdasan tidak sebatas pada otak tetapi juga emosional dan sosial. Produk pendidikan akan digunakan atau berkaitan dengan kehidupan sosial. Tatkala pendidikan hanya sebatas syarat administrasi apalagi hanya untuk gagah-gagahan maka pupus lah harapan mencerdaskan.

Menjadi penentu penguasa dan memiliki kewenangan sekalipun hasilnya sebatas kejumawaan. Tidak lagi peduli kesengsaraan. Tak lagi ada ruang berpikir memajukan. Untung, untung untung saja yang dipikirkan. Institusinya kembali akan menjadi pasar, wani piro oleh piro. Tawar menawar akan dijadikan acuan. Palak memalak suap dan backing ilegal menjadi lumrah malah malah bisa dibanggakan.

Lagi lagi guru menjadi standar mutu. Tatkala guru tidak lagi merasa bermutu atau hanya sarat dengan menggerutu maka tak heran bila banyak masalah di hari depan. Para murid akan menjadi predator dan mungkin juga akan menjadi masa bodoh. Peka peduli berbela rasa ini suatu kecerdasan. Kemampuan membela yang termarjinalkan ini bukan keputusasaan melainkan upaya upaya perjuangan nyali bagi orang yang tercerahkan dan mampu menyerap transformasi kecerdasan dalam pendidikan.**

[Chryshnanda Dwilaksana]

BEKASI TOP