posbekasi.com

Iki Pemean Dudu Pameran

Penulis di Museum Antonio Blanco.[DOK]
POSBEKASI.COM – Tatkala mengikuti pameran bersama anak-anak SLTA se-kota Madya dan Kabupaten Magelang di Balai Pelajar pada tahun 1984, melihat karya teman-teman yang terbingkai tertata rapi ada mimpi bagaimana kalau karya-karya saya ini diapresiasi dan diberi tempat yang selayaknya.

Karya yang akan saya pamerkan masih berupa gambar dalam kertas karton yang tergulung dan tempat yang diberikan juga di belakang dekat toilet.

Dengan senang hati diterima karena gratisan dan karyanya juga awut-awutan. Kami dengan beberapa teman tidur di arena pameran itu kebingungan menempatkan sarung, handuk yang sudah kami pakai.

Di area pameran, kami buat bentangan tali dan menjadi sampiran pakaian dan handuk yang telah kami pakai. Agar tidak menjadi bahan ejekan, kami menuliskan “iki pemeyan dudu pameran” (ini adalah jemuran bukan bagian dari pameran).

Tatkala membaca kisah pelukis nyentrik, Ida Bagus Made Poleng, yang marah tatkala karyanya dipajang pada posisi paling depan dan semua penonton pameran dengan mudah melihatnya. Ia mengambil dan memindahkannya ke belakang yang bukan posisi bagus untuk sebuah pameran.

Ia berkata, “Kalau lukisan saya bagus dan diminati banyak orang dimanapun ditempatkan akan dicari orang”.

Seni memang bukan rekayasa dan bukan karbitan melainkan proses dan menjadi suatu sejarah.

Tatkala sudah berlalu bertahun tahun atas pameran di Balai Pelajar Magelang, saya mulai berpikir, bukankah yang menjadi pemeyan sebenarnya juga pameran. Pameran instalasi kehidupan awal seorang seniman yang juga menjadi proses kesenimannya. Namun, kadang malu juga karena mungkin sebatas menghibur diri.

Suatu karya seni memang perlu ditata rapih namun ada kalanya dibiarkan alami begitu saja. Seni memang bukan batasan-batasan atau aturan ini dan itu. Seni merupakan ungkapan hati, panggilan jiwa, yang menjadi jiwa yang nampak (S.Soedjojono).

Seniman, sering berpenampilan eksentrik bahkan di luar mind stream yang berlaku. Ini menjadi bagian dari ungkapan jiwa yang bebas atau unutk menunjukkan karakternya yang berbeda dengan orang lain.

Seniman sejati bukan tukang jiplak, ia sosok yang jujur menyuarakan hati nurani melalui karyanya. Tidak peduli orang suka atau tidak. Tugasnya kerja kerja dan kerja. Ada kalanya seorang seniman ketiban pulung. Karyanya laku dan diapresiasi dimana-mana. Namun adakalanya tidak kebagian pulung sehingga tetap melarat atau bahkan mati dalam mempertahankan karyanya.

Seorang seniman dituntut untuk cerdas? bisa iya bisa tidak. Mengapa? Kalau bertanya cerdas yang mana? Menjadi terkenal, kaya raya atau tetap berkarya walau tidak ada yang peduli dengan karyanya. Seniman memang unik, mungkin harus realistis untuk memikirkan antara pemean dan pameran.[Cryshnanda Dwilaksana]

BEKASI TOP