Posbekasi.com

Genosida Hazara: Pengungsi Afghanistan Gelar Aksi Damai Desak Perlindungan dan Solusi Nyata

120 pengungsi Afghanistan melakukan aksi damai di belakang kantor UNHCR Indonesia yang dilanjutkan dengan berjalan kaki hingga menuju Kedutaan Australia dan Kedutaan Inggris, menyerukan pengakuan secara formal mengenai telah terjadinya genosida terhadap etnis Hazara, di Jakarta, Kamis 25 September 2025. Posbekasi.com /Ist

JAKARTA | POSBEKASI.com – Komunitas pengungsi Afghanistan di Indonesia memperingati Hari Peringatan Genosida Hazara secara serentak. Peringatan ini adalah sebuah momentum global untuk menegaskan penderitaan panjang etnis Hazara dari Afghanistan akibat diskriminasi sistematis, pengusiran, hingga pembantaian massal yang telah berlangsung lebih dari 130 tahun lamanya.

Pada Kamis 25 September 2025, di Jakarta, sekitar 120 pengungsi Afghanistan melakukan aksi damai di belakang kantor UNHCR Indonesia yang dilanjutkan dengan berjalan kaki hingga menuju Kedutaan Australia dan Kedutaan Inggris, menyerukan pengakuan secara formal mengenai telah terjadinya genosida terhadap etnis Hazara, yang menyebabkan proses perpindahan paksa dan ribuan etnis Hazara yang terpaksa mengungsi.

Selain itu, massa aksi juga menggunakan momentum aksi damai untuk mendorong percepatan pemindahan ke negara ketiga (resettlement) sebagai solusi komprehensif bagi pengungsi di Indonesia. Indonesia saat ini tengah menampung sekitar 12.000 pengungsi, termasuk ribuan dari Afghanistan dan lebih spesifik mereka yang merupakan individu etnis Hazara.

Selama lebih dari 10 tahun hidup dalam ketidakpastian, para pengungsi tidak mendapatkan hak mendasar atas pendidikan, pekerjaan, maupun layanan kesehatan.

Hingga hari ini, berbagai kesempatan resettlement semakin berkurang di seluruh dunia, seperti halnya ke Australia yang sejak 1 Juli 2014 telah menutup peluang resettlement bagi para pengungsi yang terdaftar di UNHCR Indonesia pada atau setelah tanggal tersebut.

Di tengah minimnya kebijakan perlindungan pengungsi di Indonesia, kondisi ini membuat para pengungsi terjebak dalam ketidakpastian sekaligus keterbatasan dalam mengakses hak asasi manusia mereka.

Terbatasnya Solusi Berkelanjutan bagi Pengungsi Hazara di Indonesia

Sejatinya, terdapat 3 opsi solusi berkelanjutan (durable solutions) bagi pengungsi: integrasi lokal di negara suaka, repatriasi sukarela ke negara asal, dan resettlement ke negara ketiga. Namun, bagi pengungsi Hazara di Indonesia, 2 opsi pertama mustahil dicapai.

Mereka tidak dapat dipulangkan karena risiko penganiayaan dan genosida, sementara integrasi lokal terhalang oleh ketiadaan payung hukum di Indonesia. Resettlement-pun semakin terbatas akibat menurunnya kuota global. Akibatnya, ribuan pengungsi terjebak tanpa kepastian selama bertahun-tahun.

Laporan internasional terbaru, termasuk dari New Lines Institute (2025), mendokumentasikan lebih dari 473 warga Hazara tewas dan 681 terluka dalam serangan terarah sejak Taliban kembali berkuasa pada 2021.

Fakta ini mempertegas bahwa kondisi di Afghanistan sama sekali tidak aman bagi pemulangan sukarela. Selain itu, perempuan Hazara menghadapi gender apartheid yang melarang mereka bersekolah, bekerja, dan membuat mereka rentan terhadap kekerasan berbasis gender.

Para pengungsi menegaskan bahwa selama 10 tahun mereka hidup di Indonesia, mereka tidak mendapatkan haknya sebagai manusia, seperti tidak boleh bekerja, sulit mengakses pendidikan, dan tidak mendapatkan jaminan kesehatan.

Banyak yang mengalami detensi tanpa batas waktu, bertentangan dengan prinsip non-refoulement internasional. UNHCR dinilai gagal memastikan perlindungan, bahkan justru memperpanjang penderitaan dengan birokrasi yang lamban dan tidak transparan.

Desakan kepada UNHCR, IOM, dan Pemerintah Indonesia

Berdasarkan pantauan SUAKA dalam aksi damai yang dilakukan oleh komunitas pengungsi, terdapat beberapa desakan yang menjadi dasar aspirasi massa aksi.

Pertama terdapat desakan bagi UNHCR dan IOM untuk mendorong proses resettlement bagi pengungsi dan pencari suaka bersama dengan negara-negara penerima pengungsi, memastikan perlindungan hak asasi bagi pengungsi dan pencari suaka, dan bagi negara-negara untuk tidak menyalahgunakan mandat Konvensi 1951 serta Protokol 1967.

Mereka juga meminta Pemerintah Indonesia menghormati komitmen HAM sesuai UU Hubungan Luar Negeri Pasal 27 Ayat 2 No. 37 tahun 1999 dan Perpres 125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi, termasuk memberikan akses terbatas pada hak pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan sementara menunggu solusi.

Lebih jauh, komunitas pengungsi Afghanistan turut meminta masyarakat internasional mengakui genosida terhadap etnis Hazara secara resmi melalui PBB, Kanada, Inggris, Amerika Serikat, dan negara lain, serta membentuk komisi investigasi independen untuk mendokumentasikan kejahatan Taliban dan menyerahkannya ke ICC. Jalur resettlement dan program sponsor komunitas, reunifikasi keluarga, serta mobilitas tenaga kerja harus diperluas. Akuntabilitas juga perlu ditegakkan dengan menuntut Taliban, ISIS, dan kelompok terkait atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di Afghanistan.

Momentum Hazara Genocide Day 2025

Dalam peringatan Hari Genosida Hazara 2025, SUAKA mendorong perluasan pengakuan atas Hazara Genocide Remembrance Day serta peningkatan kesempatan resettlement dari negara ketiga.

Peringatan ini harus menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia, UNHCR, IOM, dan komunitas internasional lainnya untuk tidak lagi menunda langkah konkret dalam melindungi pengungsi dan mendorong pertanggungjawaban terhadap tindak genosida. [yan]

BEKASI TOP