Posbekasi.com

Kebijakan Rombel dan Pemangkasan Anggaran, Syahrir: Jawa Barat akan Alami Krisis Pendidikan

Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, H. Syahrir, SE, M.I.Pol. Posbekasi.com /Dokumentasi

posBEKASI.com | BEKASI – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) yang menetapkan rombongan belajar (rombel) hingga 50 siswa per kelas di sekolah negeri menuai gelombang kritik keras. Kebijakan ini dinilai tidak hanya bertentangan dengan prinsip pendidikan berkualitas, tapi juga menyimpan agenda terselubung yang patut dicurigai.

“Bahkan kebijakan ini bisa menjadi “jalan sunyi” menuju pembunuhan pelan-pelan terhadap sekolah swasta di Jawa Barat. Jumlah rombel hingga 50 siswa itu bukan solusi, justru ancaman terhadap kualitas pendidikan. Ini kebijakan yang sangat tidak ideal bagi proses belajar mengajar,” kata anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, H. Syahrir, SE, M.I.Pol, dalam keterangannya, Senin (14/7/2025).

Hal tersebut diungkapkan Syahrir, menanggapi kebijakan jumlah rombel yang dinilainya menjauhkan siswa mendapatkan pendidikan berkualitas karena kegiatan belajar mengajar tidak kondusif.

“Kebijakan ini secara terang-terangan melanggar ketentuan nasional tentang standar rombel yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat,” terangnya.

Menurut anggota Komisi I DPRD Jabar ini, akibat jumlah rombel tersebut beberapa regulasi yang dilanggar antara lain, pertama Peraturan Mendikbud Ristek RI No. 22 Tahun 2023 tentang Standar Sarana dan Prasarana, kedua Permendikbudristek No. 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan, dan ketiga Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Petunjuk Teknis Pembentukan Rombongan Belajar.

“Ketiga regulasi tersebut secara jelas menyebut bahwa jumlah maksimal siswa dalam satu rombel adalah 36 siswa,” katanya.

“Kebijakan rombel jumbo ini mencuat bersamaan dengan realokasi anggaran APBD Jawa Barat 2025 sebesar Rp1,19 triliun untuk sektor pendidikan, yang sebagian besar dialokasikan ke: Program Pendidikan Karakter (Pancawaluya),” tambah Syahrir.

Bukan Solusi Tapi Ancaman

Lebih lanjut Syahrir menyatakan akibat kebijakan KDM ini perlu diperhatikan pula proyek yang memakan biaya besar seperti belanja modal gedung dan bangunan senilai Rp942 miliar, yang diduga kuat untuk sekolah negeri.

Proyek-proyek ini katanya, memang menguntungkan sekolah negeri, tetapi justru mengancam kelangsungan sekolah swasta.

“Bagi sekolah negeri, proyek Ruang Kelas Baru (RKB) dan mebeler itu bagus. Tapi bagi swasta, ini seperti palu godam yang memukul eksistensinya. Negara seolah menciptakan persaingan tidak sehat, bukan keadilan,” ucapnya.

Hibah untuk Swasta Dipotong, Pesantren Tersingkir

Syahrir pun menyayangkan seiring dengan kebijakan rombel di sekolah negeri, dalam struktur perubahan anggaran sekolah swasta bahkan mengalami pemangkasan dana hibah mencapai Rp221 miliar.

Pemangkasan anggaran tersebut untuk Pesantren Rp135 miliar, BPMU Rp63 miliar, Lembaga pendidikan swasta lainnya Rp23 miliar.

Sebelumnya, pemangkasan anggaran oleh KDM tersebut sempat mencuat dan diributkan oleh hampir seluruh anggota DPRD Provinsi Jawa Barat.

“Dengan fasilitas yang semakin terbatas dan siswa yang ‘dibajak’ oleh sekolah negeri berfasilitas lengkap, sekolah swasta terancam tutup satu per satu. Kalau ini terus dibiarkan, akan terjadi eksodus siswa dari swasta ke negeri, dan lama-lama swasta bangkrut,” kata Syahrir.

Negara Harus Menjadi Pendukung Bukan Pemukul

Kebijakan rombel dan pemangkasan anggaran untuk dunia pendidikan dinilai menjadi pemukul bagi penyelenggara pendidikan khususnya sekolah swasta.

“Negara seharusnya tidak mematikan inisiatif masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan. Tanpa kehadiran swasta, dipastikan negara tidak akan mampu melaksanakan kewajibannya di bidang pendidikan,” terang Syahrir.

Negara kata Syahrir, seharusnya menjadi inisiator dan pendukung, bukan malah memukul mundur partisipasi masyarakat yang selama ini tulus ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Kebijakan rombel 50 siswa yang dipaksakan di sekolah negeri, beriringan dengan banjir proyek pembangunan dan pemangkasan terhadap sekolah swasta, menunjukkan paradoks kebijakan yang berpotensi menciptakan monopoli pendidikan oleh negara. Jika arah ini tak segera diluruskan, Jawa Barat akan mengalami krisis pendidikan yang lebih dalam, kehilangan ekosistem penyelenggara pendidikan yang adil dan beragam,” pungkas Syahrir. [pob]

BEKASI TOP