Entah apa yang membuat langkah kaki Trimulyono tiba-tiba menghampiri seorang bapak yang tengah memangku anaknya yang menyandang fisabilitas.
Tunawisma itu bernama Ateng, 58 tahun, dan putranya yang mengalami kurang gizi bernama Dika, 11 tahun. Ateng yang ditinggal istrinya Dayonah, karena tertabrak speda motor pada tahun 2012.
Dalam kondisi serba kekurangan, Ateng yang mengurus sendiri anaknya yang mengalami gizi buruk itu mengemis di rel setelah walet dari Kecamatan Tambun Selatan yang banyak dilintasi pejabat.
Sebelumnya, dari istri pertamanya Ateng mempunyai tiga orang anak yang kini sudah dewasa dan berumah tangga. NamunAteng tidak pernah tahu akan kehidupan ketiga anak dan istri pertamanya itu.
Berpenghasilan Rp40 ribu sampai Rp100 ribu perharinya sebagai pengemis, Ateng tinggal di rumah kontrakan di Cikampek Timur. Setiap pagi Ateng sudah mengemis di rel kereta api Tambun, dan pada sore hari Ateng kembali ke Cikampek dengan menggunakan kereta setiap harinya.
Akankah para gepeng ini untuk kita biarkan mengemis dan tidak tahu masa depan anaknya? Ataukah kita terapkan Pasal 34 UUD 1945, setiap fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara. “Saat ini siapa yang mau menerima dan pemerintah mana yang mau menanggung kehidupan orang tersebut?”.[IMA/HSB]