posbekasi.com

Pendidikan bagi Calon Pemimpin Masa Depan

POSBEKASI.com |  Oleh: Irjen. Pol. Prof. Chrysnanda Dwilaksana

Ada yang berpendapat bahwa menjadi pemimpin yang penting kerjanya, langsung praktek dalam masyarakat. Namun ada yang berpendapat  bahwa pendidikkan itu juga penting.  Karena tanpa dasar pengetahuan secara keilmuan akan begitu begitu saja tanpa mampu tumbuh berkembang. Apabila terjadi kesalahan atau penyimpangan sulit mengevaluasi atau mencari solusinya. Sebenarnya keduanya sama sama penting. Keilmuan dan praktek kerja lapangan saling melengkapi.

Belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Sekolah bukan sebatas mendapat ijazah atau tanda telah memenuhi persyaratan administrasi melainkan juga tercerahkan dan ada transformasi ada manfaat bagi hidup dan kehidupan.

Sekolah merupakan tanda berpikir dan berani membuat sesuatu yang baru untuk mampu mengikuti dan menghadapi perubahan yang begitu cepat. Pengalaman hidup juga menjadi suatu sekolah dan pembelajaran bagi suatu peradaban.

Hakekat pemimpin dan kepemimpinannya ada pada kebijakannya yang bijaksana demi : kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban.

Sumber daya manusia adalah aset utama bangsa konteksnya berkaitan dengan meningkatkan kualitas hidup demi semakin manusiawinya manusia.  Kehidupan manusia sebagai mahkluk individu maupun sosial menjadi fokus pelayanan publik karena pada hakekatnya keteraturan sosial akan menjadi standar suatu peradaban. Di sinilah pemimpin memiliki kepekaan, kepedulian dan belarasanya.

Peradaban yang ditandai adanya keteraturan sosial dapat ditunjukan adanya kemampuan bertahan hidup dan kehidupannya tumbuh berkembang dan meningkatnya kualitas hidup.

Arena atau ruang di mana masyarakat beraktifitas, untuk menghasilkan produksi bagi bertahan hidup, tumbuh berkembang dituntut adanya keteraturan sosial. Boleh dikatakan membangun keteraturan sosial itu dari kemampuan memanage berbagai sumber daya yang ada sehingga mampu mengatasi potensi konflik maupun konflik. Dengan demikian dapat bertahan hidup dan ditumbuhkembangkan atau setidaknya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Dan hukum menjadi ikon peradaban untuk dipatuhi dan ditegakkan

Kembali pada konteks pendidikan, muncul pertanyaan untuk apa? Menjawab pertanyaan tersebut tentu jawabannya bervariasi , namun tatkala dikaitkan konteks peradaban maka pendidikan memang ditujukan untuk manusia agar mampu memanusiakan manusia. Kemanusiaan dapat dikaitkan dalam meningkatnya kualitas hidup dan meningkatnya harkat dan martabat manusia.

Konteks meningkatnya kualitas hidup ini tentu bagi pemimpin adalah belajar untuk memikirkan bagi terwujud dan terpeliharanya keteraturan sosial, yang menjadi salah satu kebutuhan adab.

Dalam membangun keteraturan sosial bagi para pemimpin dituntut memahami  kehidupan sosial dan berbagai masalahnya yang kontra produktif. Seperti potensi konflik, konflik dan berbagai permasalahan sosial yang berdampak pada terganggu atau rusaknya keteraturan sosial.

Masalah sosial sangat kompleks. Setidaknya dapat dikategorikan dari faktor : manusianya, alamnya dan sistem maupun infrastrukturnya. Untuk mengatasi masalah sosial bukan perkara mudah. Dalam menata manusia ini, ada adu kekuatan yang tangible maupun yang untangible.  Yang juga memerlukan adanya figur yang dipercaya atau menjadi ikon bagi hidup dan kehidupannya. Trust atau kepercayaan adalah kuncinya.

Kalau ada pertanyaan lagi apa hubungannya peradaban, keteraturan sosial dan kemanusiaan dengan pendidikkan? Orang biasa biasa saja kaya bahkan berkuasa, satu, dua orang atau kelompok kecil bisa. Namun bagi orang kebanyakkan mau tidak mau perlu adanya pendidikan formal. Pendidikkan bagi para pemimpin masa depan sangat penting untuk menata, melindungi, mengayomi, menegakan hukum dan keadilan, sejatinya adalah sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan.

Dalam konteks pemimpin dan kepemimpinannya diharapkan kebijakannya bijaksana, mampu memberikan pelayanan yang ditujukkan bagi semakin manusiawinya manusia serta meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Dapat bekerja dengan profesional, cerdas, bermoral dan modern.

Sejalan dengan pemikiran di atas, pendidikan para calon pemimpin di masa depan, ” moralitas”,  menjadi kuncinya. Amanat konstitusi,  salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Membangun peradaban memerlukan SDM yang cerdas. Apalagi di era digital, dengan hadirnya AI ( artificial intellegent ) akan merubah banyak profesi bahkan sistem pendidikan.

Albert Einstein mengatakan bahwa :” Tanda kecerdasan bukan pada pengetahuan melainkan pada imajinasi”. Pemaknaan dan penjabarannya sangat luas, untuk mampu membangun dan mengembangkan imajinasi.

Di sinilah konteks SDM menjadi penting, selain cerdas tentu juga berhati nurani. Cerdas otaknya, cerdas emosionalnya dan cerdas sosialnya yang berjiwa patriot bangsa.

Sejalan dengan pemikiran di  atas maka mau tidak mau pendidikan yang menjadi pilar bangsa polanya semestinya direformasi.

Pendidikkan bukan sebatas apa dan bagaimana namun juga mampu menjadikan siapa atau menjadi ikon dalam berbagai gatra kehidupan. Berbicara figur pendidikan mau tidak mau ” guru ” yang menjadi pilarnya. Guru sang pencerah. Pendidikan yang tidak memiliki figur guru andalan biasanya kualitas dan daya tahan serta daya saingnya rendah. Guru dituntut banyak hal walau hidupnya boleh dikatakan pas pasan bahkan kurang. Para guru adalah kaum pembelajar yang sadar dan menyadari peran dan fungsinya memberi penerangan dalam kegelapan.

Para guru bukan lagi pemegang kunci segala ilmu melainkan menjadi mentor yang mentransformasi cara berpikir dan menstimuli muridnya menjadi pemberani dalam kebaruan, kebenaran.

Pola pembelajaran di era digital setidaknya mencakup :
1. Kemapuan memahami dan memanfaatkan teori dan konsep
2. Mampu membuat kategori atau pemetaan
3. Mampu berpikir secara holistik dan sistemik
4. Mampu berpikir model secara konstruktif dan dekonstruktif, menghubung hubungkan dan membongkar untuk memahami makna di balik suatu fenomena
5. Mampu mengabstraksikan untuk berpikir secara teoritikal sehingga mampu berpikir ala helicopter view yang proaktif dan problem solving
6. Mampu belajar studi kasus dan implementasi secara pragmatis
7. Mampu menjadi kaum tempered radical
8. Kreatif dan inovatif berpikir visioner
9. Berani mengambil tindakan dalam situasi kritis, fakta brutal, emergency maupun contigency
10. Mampu membranding dan memarketingkan sebagai PR maupun dalam debat public dan menguasi manajemen media

Kesiapan dan pengkaderan serta perawatan bagi para guru maupun peserta didik perlu keberpihakkan para politikus, para pakar, para pelaku bisnis juga dari para pemangku kepentingan lainnya.

Tatkala masih bermain main dengan pendidikkan berarti sama saja sedang bunuh diri secara perlahan ( silent suicide ). Hasil didiknya dituntut untuk mampu menunjukkan sebagai siapa atau menjadi ikon kehidupan.

Pendidikan itu memerdekakan, yang mampu menjebol sekat labirin yang membuat captive mind ( pemikiran terbelenggu ).
Proses memerdekakan dengan tranformasi pengetahuan yang mencerdaskan dan mencerahkan bukan berbasis pemaksaan, penghafalan, doktrin atau digiring dalam satu pola melainkan diberi kebebasan berpikir sehingga ada keberanian.

Pemimpin yang bijak akan mewaraskan, melawan tanpa kekerasan.

Pemimpin itu melayani. Melayani sering kali menjadi jargon atau mungkin judul saja, walau faktanya malah sebaliknya. Melayani merupakan kemampuan merendahkan diri untuk memahami bukan meminta dipahami. Melayani refleksi atas ketulusan hati dengan penuh kesadaran tanpa pamrih dan memberikan sesuatu yang terbaik. Membangun kesadaran bagi suatu pelayanan merupakan proses bagi perwujudan suatu tanggung jawab. Bukan karena ketakutan bukan karena keterpaksaan atau karena pamrih akan mendapatkan sesuat. Melainkan kemampuan melepaskan diri dari ego atau akuisme. Konsep melayani adalah seperti lilin yang terus menerus menerangi walau dirinya meleleh. Manjing ajur ajer, seperti garam yang menggarami hingga lebur menyatu. Melayani juga merupakan sikap semeleh mampu bersyukur atau mensyukuri bahkan mampu menikmati walau dalam kondisi sesulit apapun. Melayani merupakan sesuatu yang manusiawi dalam memanusiakan sesamanya. Sikap melayani merupakan kemampuan melepaskan belenggu semu akan keduniawian. Menanggalkan sikap dan sifat serakah. Melepaskan sikap ego dan candu narsis yang menyebabkan mudah sakit hati, mudah tersinggung mudah menghakimi dan selalu mengeluh menuntut sesuatu.

Pemimpin itu sudah selesai dengan dirinya. Sehingga tidak baperan, tidak pendendam. Mampu mengedepankan logika dan  memikirkan dampak baik buruknya.

Pemimpin itu memahami bukan minta dipahami. Melayani bukan minta dilayani. Pemimpin itu juga mampu menunjukan prestasi dan track record yang positif sebagai orang bajik. Kebijakannya bijaksana dengan integritas yang tinggi.

Rabindranat Tagore mengatakan : ” di dalam mimpi aku melihat bahwa hidup adalah kebahagiaan, tatkala aku bangun aku menghadapi bahwa hidup adalah kewajiban. Dan ketika mampu menjalani kewajiban di situlah ada kebahagiaan”.

Pemimpin yang mampu melayani adalah kaum yang bahagia karena mendahukukan kewajiban. Kemampuan merendahkan diri untuk memahami merupakan suatu pengorbanan. Pengorbanannya ditunjukkan dari : kepekaan, kepedulian dan bela rasanya kepada sesama. Kewenangan, kekuasaan untuk memberdayakan sumber daya.

Melayani dengan tulus hati berdampak pada empowering, pencerdasan, penguatan sekaligus melindungi dan mengayomi. Melayani anti premanisme, bertentangan dengan pemerasan maupun penyuapan. Pelayanan juga merupakan  proses membangun karakter dan integritas.**040423

BEKASI TOP